KEKAYAAN alam Sumatera Barat kembali menjadi sorotan. Dalam kunjungan kerja ke Padang, anggota Komisi III DPR RI, Benny Utama, menegaskan bahwa amanat Pasal 33 UUD 1945 jelas memerintahkan pengelolaan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Namun kenyataan menunjukkan hasil tambang dan sumber daya lainnya justru lebih sering dinikmati oleh kelompok tertentu.
Kritik ini menyentuh persoalan mendasar yang sudah lama menghantui negeri ini. Sumber daya alam yang melimpah seharusnya menjadi penopang kesejahteraan rakyat.
Ironisnya, ketimpangan justru kerap lahir dari pengelolaan yang timpang.
Pertambangan ilegal yang merugikan negara hingga ratusan triliun rupiah setiap tahun menjadi bukti nyata bahwa negara belum sepenuhnya hadir mengendalikan aset strategis ini.
Dalam kasus Sumatera Barat, misalnya, praktik pertambangan rakyat masih berjalan tanpa kejelasan payung hukum yang kokoh.
Akibatnya, kegiatan tersebut rentan masuk ke ranah ilegal, menimbulkan kerugian fiskal sekaligus merusak lingkungan.
Di sisi lain, masyarakat yang menggantungkan hidup pada tambang rakyat sering kali hanya mendapat imbal hasil kecil, tanpa perlindungan sosial maupun kepastian hukum.
Jika pemerintah benar-benar serius menghapus kebocoran pendapatan negara dari sektor pertambangan, penguatan tata kelola menjadi langkah tak bisa ditawar. Usulan Benny Utama agar tambang rakyat dilegalkan dalam bentuk badan hukum koperasi patut dipertimbangkan.
Koperasi dapat menjadi wadah yang menjamin keteraturan, memberikan akses permodalan, sekaligus menekan praktik percaloan yang menjerat penambang kecil.
Namun, pembentukan badan hukum saja tidak cukup. Diperlukan kehadiran negara yang konsisten dalam melakukan pengawasan, penegakan hukum yang tegas terhadap tambang ilegal, serta transparansi dalam distribusi manfaat.
Tanpa ketiga hal itu, legalisasi hanya akan menjadi stempel yang tetap menguntungkan elite pengendali tambang.
Dari perspektif lingkungan, tata kelola yang lemah berpotensi menimbulkan kerusakan permanen. Sungai tercemar, lahan kritis meluas, dan masyarakat lokal terjebak dalam lingkaran kemiskinan.
Dampak ini menegaskan bahwa perbaikan tata kelola tambang harus memadukan aspek ekonomi, sosial, hukum, dan ekologi.
Solusi ideal adalah mendorong kebijakan afirmatif yang menempatkan masyarakat sebagai penerima manfaat utama.
Pemerintah pusat dan daerah harus duduk bersama menetapkan wilayah pertambangan rakyat, memfasilitasi pendampingan teknis, serta membuka jalur distribusi yang adil.
Pada saat yang sama, praktik tambang ilegal harus diberangus tanpa kompromi, agar tidak lagi ada kebocoran ratusan triliun yang mestinya bisa membiayai pembangunan dan layanan publik.
Harapan publik jelas. Kekayaan alam yang dikaruniakan Tuhan kepada bangsa ini harus dikelola dengan keadilan dan keberlanjutan.
Tidak boleh lagi ada ruang bagi segelintir kelompok untuk mengeruk keuntungan besar sementara rakyat hanya menjadi penonton.
Negara harus memastikan setiap tetes hasil bumi kembali pada tujuan utamanya, yakni menyejahterakan seluruh warga. Inilah ujian sesungguhnya dari janji konstitusi.
Saatnya pemerintah dan DPR membuktikan bahwa Pasal 33 UUD 1945 adalah kompas moral dan politik dalam mengelola kekayaan alam bangsa. *