Sumbarpro – Rencana pembagian telur untuk para lansia yang dilakukan Yayasan Lebah Muda Indonesia layak diapresiasi.
Di tengah meningkatnya harga pangan dan melemahnya daya beli masyarakat, aksi sederhana ini membawa makna mendalam.
Bukan hanya sekadar bantuan konsumsi, tetapi simbol bahwa kepahlawanan masa kini dapat diwujudkan melalui solidaritas sosial.
Fakta di lapangan menunjukkan, banyak lansia masih hidup dalam kondisi rentan, baik karena tidak memiliki penghasilan tetap, tidak mendapatkan jaminan sosial yang memadai, maupun karena keterbatasan keluarga yang menopang mereka.
Program pemerintah memang menyediakan bantuan sosial, tetapi realisasinya seringkali terbatas, tidak merata, bahkan kadang terhambat birokrasi.
Dalam konteks inilah, aksi sosial masyarakat sipil menjadi penting. Yayasan, komunitas, maupun kelompok pemuda mampu bergerak lebih luwes, langsung menyentuh sasaran, dan menutup celah yang belum ditangani negara.
Namun, sifatnya sementara dan tidak selalu berkelanjutan. Bantuan telur, beras, atau sembako hanya bertahan sesaat, sementara kebutuhan pangan dan kesehatan lansia bersifat terus-menerus.
Kita khwatir, gerakan sosial ini hanya sekadar menjadi rutinitas tahunan.
Kita juga tidak bisa menutup mata terhadap fenomena menurunnya kepedulian sosial di kalangan generasi muda yang lebih banyak tersedot oleh budaya digital dan individualisme perkotaan.
Mengusung semangat kepahlawanan sosial berarti mengingatkan kembali bahwa pemuda bukan hanya agen perubahan di ruang politik. Pemuda adalah penggerak solidaritas dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu, isu ketahanan pangan patut dikaitkan dengan aksi ini. Ketika harga kebutuhan pokok kian berfluktuasi, lansia menjadi kelompok paling terdampak.
Mereka jarang punya fleksibilitas ekonomi untuk beradaptasi dengan kenaikan harga.
Dengan demikian, gerakan berbagi pangan tidak hanya berfungsi sebagai amal, tetapi juga sebagai kritik sosial terhadap kegagalan kebijakan yang belum mampu menjamin akses gizi bagi seluruh warga negara.
Oleh karena itu, pemerintah daerah mesti menjadikan inisiatif sosial ini sebagai cermin kelemahan layanan publik, lalu memperbaikinya.
Bantuan sosial perlu dievaluasi agar tepat sasaran, transparan, dan tidak menimbulkan ketergantungan.
Regulasi yang melindungi lansia, baik dalam bentuk jaminan kesehatan maupun dukungan pangan, harus diperkuat agar mereka tidak bergantung sepenuhnya pada kebaikan hati masyarakat.
Di sisi lain, kampanye kepahlawanan sosial harus digelorakan secara lebih luas. Pemuda perlu diyakinkan bahwa menjadi pahlawan hari ini berarti berani hadir untuk sesama, meski hanya dengan langkah kecil.
Setiap aksi sosial harus dilihat sebagai bagian dari perjuangan kolektif menegakkan keadilan sosial sebagaimana dicita-citakan pendiri bangsa.
Jika setiap komunitas mampu menghadirkan kepahlawanan sosial yang berkelanjutan, maka lansia tidak lagi menjadi kelompok terpinggirkan.
Mereka akan merasakan bahwa bangsa ini benar-benar hadir untuk menjaga martabat hingga akhir hayat. *