Sumbarpro – Wakil Panglima TNI Jenderal Tandyo Budi Revita menegaskan bahwa TNI tidak pernah melakukan pembiaran terkait penjarahan rumah sejumlah pejabat negara oleh massa tak dikenal.
Ia menyebut tuduhan tersebut tidak benar dan bertolak belakang dengan fakta di lapangan.
“Kalau ada anggapan seperti itu, itu salah. Jauh dari yang kami lakukan. Kami taat konstitusi, kami memberi bantuan kepada institusi lain karena permintaan konstitusi sendiri,” kata Tandyo di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (1/9/2025).
Selain membantah pembiaran, Tandyo juga menepis adanya dugaan bahwa TNI tengah melakukan cipta kondisi untuk mendorong penerapan hukum tata negara darurat.
“Saya kira apa yang disebut kemampuan TNI untuk mencipta kondisi itu keliru. Kita kan di belakang, terus di belakang Polri,” ujarnya.
Tandyo menjelaskan bahwa TNI baru turun setelah ada permintaan resmi dari otoritas terkait. Menurutnya, pengamanan baru dilakukan pada 31 Agustus 2025 atau H+1 setelah terjadinya aksi penjarahan.
“Kita selalu diminta dulu baru turun. Pada tanggal 30 Agustus dipanggil Presiden, kemudian ada permintaan, makanya tanggal 31 kita turun,” ungkapnya.
Isu Darurat Militer Mengemuka
Belakangan, wacana penerapan darurat militer atau keadaan bahaya sempat ramai dibicarakan di media sosial. Namun, Tandyo menegaskan bahwa TNI tetap berpegang pada aturan hukum yang berlaku.
Aturan mengenai keadaan bahaya diatur dalam UUD 1945 Pasal 12 serta Perppu Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya.
Dalam beleid tersebut, Presiden RI dapat menetapkan seluruh atau sebagian wilayah Indonesia dalam keadaan darurat sipil, darurat militer, atau keadaan perang.
Syarat penetapan keadaan bahaya antara lain apabila sebagian atau seluruh wilayah Indonesia terancam pemberontakan, kerusuhan, atau bencana alam.
Penjarahan Rumah Pejabat
Sebagaimana diketahui, massa tak dikenal melakukan penjarahan di lima rumah pejabat publik pada Sabtu siang (30/8/2025) hingga Minggu dini hari (31/8/2025).
Korban penjarahan di antaranya rumah anggota DPR RI Ahmad Sahroni, Eko Patrio, Uya Kuya, artis Nafa Urbach, hingga Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Rumah Ketua DPR RI Puan Maharani juga nyaris dijarah massa pada Minggu dini hari sekitar pukul 04.00 WIB, namun berhasil digagalkan.
Yang menjadi sorotan adalah penjarahan di kediaman Sri Mulyani yang berlangsung dalam dua gelombang, sekitar pukul 01.00 dan 03.00 WIB. Aksi tersebut diduga terkoordinasi dengan baik.
Sejumlah saksi mata menyebut massa pada gelombang kedua lebih banyak dibanding sebelumnya.
Olav, tetangga Sri Mulyani, mengatakan kerumunan mulai berkumpul di depan kompleks sejak pukul 00.30 WIB dengan jumlah hampir seribu orang.
“Ada aba-aba berupa bunyi kembang api sebelum massa masuk ke kompleks. Itu tanda bahwa aksi sudah diatur secara sistematis,” ujarnya.
Selain menjarah rumah pejabat, massa juga merusak sejumlah fasilitas umum di Jakarta.
Gerbang tol, halte Transjakarta, dan beberapa bagian dari stasiun MRT menjadi sasaran amuk massa.
Kerusakan fasilitas publik ini menambah daftar panjang dampak kerusuhan yang terjadi pada akhir pekan lalu.
Aparat gabungan TNI–Polri kemudian memperketat pengamanan di sejumlah titik rawan untuk mencegah aksi lanjutan.
Menutup pernyataannya, Jenderal Tandyo menegaskan bahwa TNI berkomitmen menjalankan perannya sesuai aturan hukum.
“TNI senantiasa taat kepada aturan. Tidak ada pembiaran, tidak ada cipta kondisi. Semua langkah kami berdasarkan permintaan resmi dan konstitusi,” tegasnya. (cnn)
Discussion about this post