INSTRUKSI Presiden Prabowo untuk memberantas tambang ilegal direspon cepat oleh Gubernur Sumbar, Mahyeldi. Ia menegaskan komitmennya menertibkan aktivitas pertambangan tanpa izin, yang sudah lama menjadi ‘duri dalam daging’ pembangunan daerah.
Pertambangan ilegal bukan sekadar soal melanggar aturan, melainkan ancaman nyata bagi lingkungan, kesehatan masyarakat, dan keuangan negara. Tambang ilegal adalah wajah lain dari keserakahan yang dibungkus kebutuhan ekonomi. Hal inilah yang dimaksud Presiden Prabowo sebagai salah satu bentuk ‘serakahnomics’.
Data Dinas ESDM Sumbar mencatat ada 200 hingga 300 titik penambangan ilegal dengan kerugian mencapai Rp9 triliun. Angka ini bukan sekadar statistik. Artinya, ada miliaran rupiah potensi pembangunan daerah yang hilang, sungai yang tercemar merkuri, sawah yang tertimbun lumpur, hingga generasi yang terancam kesehatannya.
Komitmen gubernur patut diapresiasi, apalagi dengan langkah menyurati Kementerian ESDM, menggandeng penegak hukum, hingga mengusulkan pembentukan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR).
Namun, harus diakui, pemerintah daerah tidak bisa bergerak sendirian. Penegakan hukum ada di tangan kementerian dan kepolisian. Jika aparat tidak benar-benar tegas, maka tambang ilegal hanya akan berpindah lokasi, berganti wajah, atau berlindung di balik ‘pemain besar’ yang sulit disentuh.
Di sisi lain, pembentukan WPR menjadi langkah strategis untuk memberi ruang legal bagi masyarakat lokal. Tapi solusi ini juga punya risiko. Jika WPR hanya sebatas izin tanpa pengawasan, bisa jadi menjelma jadi ‘pintu masuk’ legalisasi kerusakan.
WPR harus benar-benar dikawal, mulai dari standar keselamatan kerja, penggunaan bahan ramah lingkungan, hingga mekanisme bagi hasil yang jelas untuk negara dan masyarakat.
Masalah tambang ilegal juga erat kaitannya dengan persoalan sosial. Banyak warga kecil yang terjebak karena tidak ada pilihan pekerjaan lain. Sementara di belakang mereka, ada aktor besar yang menikmati keuntungan.
Karena itu, pemberantasan tambang liar tidak cukup dengan satgas atau sosialisasi. Harus ada strategi komprehensif berupa penegakan hukum yang keras terhadap cukong, pemberdayaan ekonomi alternatif untuk masyarakat, serta tata kelola izin yang transparan agar tidak dimonopoli segelintir orang.
Solusi ideal harus menyentuh tiga lapis. Pertama, penegakan hukum tanpa pandang bulu. Jika negara hanya berani menyasar penambang kecil, tetapi membiarkan jaringan besar yang membiayai, maka keadilan hanya akan jadi slogan.
Kedua, pembangunan ekonomi alternatif di wilayah terdampak. Masyarakat butuh lapangan kerja nyata agar tidak bergantung pada tambang.
Dan ketiga, penguatan regulasi lingkungan yang memastikan setiap aktivitas tambang, baik besar maupun rakyat, tidak mengorbankan masa depan daerah.
Pertanyaannya, apakah pemangku kebijakan di Sumbar berani menutup babak panjang tambang ilegal dengan langkah berani dan konsisten? Atau hanya melahirkan kebijakan tambal sulam yang mudah dicari celahnya?
Jawaban atas pertanyan itu akan sangat menentukan apakah instruksi Presiden benar-benar dijalankan, atau sekadar ‘gimmick’ yang berhenti di meja birokrasi. *