Sumbarpro – Hari ini 426 tahun lalu, tepatnya 11 September 1599, sejarah mencatat duel heroik Laksamana Keumalahayati atau Malahayati melawan Cornelis de Houtman di Aceh.
Duel itu berakhir dengan tewasnya Cornelis di ujung rencong Malahayati, sekaligus menegaskan dirinya sebagai laksamana perempuan pertama di dunia.
Malahayati lahir di Aceh pada 1 Januari 1550 dari keluarga bangsawan pelaut.
Ayahnya, Laksamana Mahmud Syah, adalah Panglima Angkatan Laut Kesultanan Aceh.
Ia juga cicit Sultan Salahuddin Syah, raja kedua Kesultanan Aceh.
Sejak remaja, Malahayati menempuh pendidikan militer di Mahad Baitul Maqdis, akademi angkatan laut Kesultanan Aceh. Ia ditempa instruktur perang dari Turki Utsmani.
Pada usia 35 tahun, ia dipercaya menjadi Kepala Barisan Pengawal Istana dan Panglima Protokol semasa Sultan Alauddin Riayat Syah al-Mukammil berkuasa.
Kehilangan Suami di Medan Perang
Tahun 1586, Malahayati ikut serta dalam pertempuran di Teluk Haru, Selat Malaka, melawan Portugis.
Armada Aceh berhasil memukul mundur musuh, tetapi suaminya, Laksamana Tuanku Mahmuddin, gugur di medan laga.
Sejak itu, Malahayati bertekad melanjutkan perjuangan sang suami.
Sultan Riayat Syah kemudian mengangkatnya menjadi laksamana.
Ia mencetuskan ide membentuk pasukan khusus berisi para janda prajurit gugur, yang dikenal sebagai Inong Balee.
Jumlah mereka mencapai 2.000 orang, dilengkapi 100 kapal perang besar.
Inong Balee, Pasukan Janda Penakluk Lautan
Pasukan Inong Balee tidak hanya berperang di Selat Malaka, tetapi juga ke pantai timur Sumatra dan Malaya.
Mereka membangun Benteng Inong Balee di Krueng Raya, Aceh Besar, sebagai markas pertahanan sekaligus pusat pelatihan tempur perempuan.
Duel Lawan Cornelis de Houtman
Pada 21 Juni 1599, dua kapal Belanda, de Leeuw dan de Leeuwin, tiba di Aceh.
Sikap arogan pasukan Cornelis dan Frederik de Houtman membuat Sultan menolak kedatangan mereka. Pertempuran pun pecah.
Pada 11 September 1599, Malahayati naik ke kapal musuh dan menantang Cornelis de Houtman dalam duel satu lawan satu.
Cornelis tewas di tangannya, sementara Frederik ditawan dan dipenjara.
Menurut sejarawan Belanda Marie van C Zeggelan dalam Oude Glorie (1935), kekalahan itu membuat Belanda kehilangan banyak prajurit.
Diplomat Ulung
Selain panglima perang, Malahayati juga dikenal sebagai negosiator ulung.
Ia memimpin perundingan dengan Belanda untuk pembebasan tawanan, dengan syarat pembayaran ganti rugi perang.
Pada 5 Juni 1602, Malahayati menerima utusan Ratu Elizabeth I, James Lancaster, yang datang ke Aceh untuk berdagang rempah.
Ia menyetujui perjanjian dagang karena Inggris hanya ingin berdagang, bukan berperang.
Akhir Hayat
Malahayati wafat pada 1615 dan dimakamkan di Lamreh, Krueng Raya, Aceh Besar.
Pada 9 November 2017, Presiden Joko Widodo menganugerahinya gelar Pahlawan Nasional.
Namanya kini diabadikan menjadi kapal perang TNI AL dan Pelabuhan Malahayati di Aceh Besar.
Warisannya hidup sebagai simbol keberanian perempuan Nusantara melawan kolonialisme. (edt)