Sumbarpro — Kekalahan tipis Indonesia dari Irak dalam Kualifikasi Piala Dunia 2026, Minggu dinihari (12/10/2025), menandai akhir dari perjalanan panjang Tim Garuda menuju pentas dunia.
Meski berakhir dengan skor 0-1, pertandingan di Jeddah itu meninggalkan kesan mendalam.
Timnas Indonesia menunjukkan semangat juang dan peningkatan kualitas permainan, namun hasil akhir tetap menjadi pengingat bahwa sepak bola bukan hanya soal keberanian dan motivasi, tetapi juga soal sistem, perencanaan, dan pembinaan jangka panjang.
Pernyataan Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi yang menegaskan perlunya evaluasi menyeluruh harus dibaca lebih jauh dari sekadar reaksi emosional usai kekalahan.
Evaluasi tidak cukup berhenti pada level teknis, seperti strategi pelatih atau performa pemain, tetapi harus menyentuh akar persoalan yang selama ini membelit sepak bola nasional.
Mulai dari tata kelola organisasi, transparansi kompetisi, hingga pembinaan usia muda yang belum sepenuhnya sistematis.
PSSI dan pemerintah kerap berbicara tentang visi besar membawa Indonesia ke Piala Dunia, namun cita-cita itu tidak akan berarti tanpa fondasi yang kuat.
Selama struktur kompetisi masih rapuh, infrastruktur belum merata, dan pembinaan di daerah berjalan tanpa arah, harapan tampil di panggung dunia akan terus menjadi mimpi yang tertunda.
Kekalahan di Jeddah seharusnya menjadi momentum untuk mengakhiri pola lama membangun sepak bola berdasarkan euforia, bukan strategi.
Meski begitu, apresiasi tetap layak diberikan kepada para pemain dan tim pelatih.
Mereka telah mencatat sejarah baru dengan membawa Indonesia menembus putaran keempat kualifikasi untuk pertama kalinya.
Pencapaian itu menunjukkan bahwa potensi besar sepak bola Indonesia nyata adanya.
Namun potensi tanpa sistem ibarat kapal tanpa kompas, bisa berlayar jauh tetapi mudah tersesat.
Pemerintah, yang kini mulai aktif dalam urusan olahraga, perlu memastikan keterlibatannya tidak sebatas simbol dukungan.
Intervensi yang sehat berarti mendorong pembenahan struktur dan pengawasan terhadap federasi, bukan mengambil alih perannya.
Negara hadir untuk memastikan tata kelola olahraga berjalan profesional dan berkeadilan.
Jika tidak, siklus kegagalan akan terus berulang meski wajah pelatih dan pemain berganti.
PSSI juga harus berani melakukan refleksi diri.
Kepemimpinan yang efektif bukan hanya tentang mengelola tim nasional, tetapi juga membangun ekosistem sepak bola yang sehat dari akar rumput.
Kompetisi usia dini, fasilitas latihan, dan pembinaan pelatih lokal harus menjadi prioritas utama.
Mimpi tampil di Piala Dunia hanya mungkin terwujud jika setiap anak Indonesia punya kesempatan yang sama untuk berkembang dalam sistem yang tertata.
Di sisi lain, publik pun perlu mengubah cara pandang terhadap kegagalan.
Kekecewaan memang wajar, tetapi dukungan yang konsisten jauh lebih berarti daripada kemarahan sesaat.
Sepak bola adalah proses panjang yang membutuhkan kesabaran dan konsistensi.
Tidak ada prestasi instan, apalagi di tengah sistem yang baru berbenah.
Harapan ke depan, evaluasi yang dijanjikan pemerintah benar-benar dijalankan dengan transparan dan melibatkan pihak independen.
Evaluasi harus menghasilkan kebijakan nyata, bukan sekadar laporan seremonial.
Jika evaluasi ini mampu melahirkan langkah perbaikan menyeluruh, maka kekalahan di Jeddah akan menjadi titik balik, bukan akhir perjalanan.
Timnas Indonesia memang gagal melangkah ke Piala Dunia, tetapi kegagalan ini dapat menjadi awal dari kebangkitan yang lebih matang.
Yang dibutuhkan kini bukan sekadar semangat baru, melainkan keberanian untuk membangun ulang sistem sepak bola nasional dengan kesungguhan dan visi jangka panjang.
Dari kekalahan ini, bangsa harus belajar bahwa prestasi sejati lahir dari perencanaan yang berkelanjutan, bukan dari harapan yang bergantung pada keberuntungan. (ak)