Sumbarpro – Gelombang demonstrasi mengguncang Indonesia sejak akhir Agustus 2025, dipicu oleh kemarahan atas tunjangan mewah DPR RI dan memuncak tragis dengan kematian Affan Kurniawan, pengemudi ojek online yang tewas tertabrak kendaraan taktis Brimob di Jakarta.
Dari Jakarta hingga Yogyakarta, mahasiswa, buruh, dan masyarakat sipil bersatu menyuarakan “17+8 Tuntutan Rakyat,” menuntut reformasi DPR, Polri, dan kebijakan ekonomi, sementara OHCHR mendesak investigasi transparan atas dugaan kekerasan aparat.
Ringkasan Demonstrasi di Indonesia (Agustus–September 2025)
Latar Belakang dan Pemicu
Gelombang protes meletus di seluruh Indonesia, dimulai di Jakarta pada 25 Agustus 2025, yang awalnya dipicu oleh usulan tunjangan perumahan sebesar Rp50 juta per bulan untuk anggota DPR RI, yang dianggap berlebihan di tengah kesulitan ekonomi.
Protes meningkat setelah kematian Affan Kurniawan, pengemudi ojek online berusia 21 tahun, yang tewas tertabrak kendaraan taktis Brimob pada 28 Agustus 2025 selama demonstrasi di Jakarta.
Insiden ini memicu kemarahan luas, memicu protes yang lebih besar dan bentrokan di beberapa kota, termasuk Bandung, Surabaya, Solo, Makassar, dan Yogyakarta.
Eskalasi dan Kekerasan
Protes yang awalnya fokus pada tunjangan DPR berkembang menjadi tuntutan reformasi sistemik setelah kematian Affan, yang dikecam sebagai tindakan kekerasan polisi yang berlebihan.
Bentrokan antara pengunjuk rasa dan aparat keamanan menyebabkan korban jiwa lebih lanjut, dengan laporan 10 kematian, puluhan luka-luka, dan ribuan penahanan di seluruh negeri.
Infrastruktur, termasuk fasilitas umum dan gedung DPRD, mengalami kerusakan atau penjarahan di beberapa daerah, memicu tuduhan adanya provokasi terorganisir.
Tanggapan OHCHR
Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) menyatakan keprihatinan atas penggunaan kekuatan berlebihan oleh pihak berwenang Indonesia, mendesak penyelidikan yang cepat, menyeluruh, dan transparan terhadap dugaan pelanggaran hak asasi manusia selama protes, terutama penggunaan gas air mata, peluru karet, dan meriam air.
Tuntutan Utama (17+8 Tuntutan Rakyat)
Protes menghasilkan serangkaian tuntutan yang disatukan sebagai “17+8 Tuntutan Rakyat,” yang dipopulerkan oleh tokoh publik seperti Jerome Polin dan Soleh Solihun di media sosial.
Tuntutan ini dibagi menjadi tujuan jangka pendek (hingga 5 September 2025) dan jangka panjang (hingga 31 Agustus 2026):
17 Tuntutan Jangka Pendek
1. Tarik TNI dari peran keamanan sipil dan cegah kriminalisasi pengunjuk rasa.
2. Bentuk tim investigasi independen untuk kematian Affan Kurniawan dan kekerasan terkait protes lainnya.
3. Bekukan kenaikan tunjangan, gaji, dan fasilitas baru anggota DPR.
4. Publikasikan transparansi anggaran DPR.
5. Periksa anggota DPR yang tidak etis melalui Badan Kehormatan.
6. Berikan sanksi atau pecat kader partai yang tidak etis.
7. Umumkan komitmen partai politik untuk memihak rakyat.
8. Libatkan kader partai dalam dialog publik.
9. Bebaskan pengunjuk rasa yang ditahan.
10. Hentikan tindakan represif aparat dalam pengawalan demo.
11. Tangkap dan adili aparat yang memerintahkan atau melakukan kekerasan.
12. Kembalikan TNI ke barak.
13. Pastikan TNI tidak mengambil alih fungsi Polri.
14. Pastikan TNI tidak masuk ke ruang sipil saat krisis demokrasi.
15. Pastikan upah layak untuk buruh.
16. Cegah PHK massal melalui langkah darurat.
17. Buka dialog dengan serikat buruh terkait upah murah dan outsourcing.
8 Tuntutan Jangka Panjang
1. Reformasi DPR secara menyeluruh dengan audit dan syarat anggota yang lebih ketat.
2. Reformasi partai politik dengan laporan keuangan transparan.
3. Reformasi kebijakan perpajakan.
4. Sahkan RUU Perampasan Aishan.
5. Reformasi kepolisian agar profesional dan manusiawi.
6. Pastikan TNI tetap di barak.
7. Perkuat Komnas HAM dan lembaga pengawas independen.
8. Tinjau ulang kebijakan ekonomi dan ketenagakerjaan, termasuk proyek strategis nasional dan UU Cipta Kerja.
Tuntutan Regional
Lampung: Mahasiswa dan masyarakat menuntut pengesahan RUU Perampasan Aset, pengurangan tunjangan DPR, peningkatan gaji guru, pemberhentian menteri bermasalah, dan reformasi kepolisian.
Yogyakarta (Jogja Memanggil): Pengunjuk rasa mengutuk brutalitas polisi, menuntut pendidikan gratis, reformasi agraria, dan penolakan terhadap UU TNI.
Sumatera Barat (Sumbar Melawan): Mahasiswa menuntut permintaan maaf publik dari 14 anggota DPR asal Sumbar dalam 24 jam, pengesahan RUU Perampasan Aset dalam 30 hari, dan reformasi Polri.
Kelompok Buruh: Menuntut penghapusan outsourcing, kenaikan upah minimum 2026 sebesar 10,5%, penghentian PHK massal, reformasi pajak, dan revisi UU Pemilu.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian (RFP): Menyerukan reformasi struktural kepolisian, termasuk pengawasan sipil, pemindahan fungsi lalu lintas ke Kementerian Perhubungan, dan evaluasi peran Brimob.
Aliansi Akademisi: Mendesak restrukturisasi kabinet, peninjauan anggaran yang salah sasaran, pemberantasan korupsi, dan penghentian tindakan represif.
Tanggapan Pemerintah
Presiden Prabowo Subianto: Menyampaikan belasungkawa atas kematian Affan, berjanji mendukung keluarganya (termasuk rumah di Cileungsi), dan memerintahkan investigasi transparan atas insiden tersebut.
Ia membatalkan tunjangan DPR dan kunjungan kerja luar negeri, menekankan protes yang sah namun memperingatkan terhadap tindakan “anarkis,” menyebut beberapa protes menunjukkan tanda-tanda “makar” atau “terorisme.”
Prabowo juga bertemu dengan tokoh agama, pejabat partai, dan serikat buruh untuk menangani kekhawatiran.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian: Menyatakan pemerintah akan meninjau 17+8 tuntutan, membedakan yang berada di bawah kewenangan eksekutif dari yang memerlukan tindakan DPR atau lembaga lain.
Tindakan Polisi: Tujuh anggota Brimob yang terlibat dalam kematian Affan ditahan, dengan dua menghadapi pelanggaran etik serius.
Kapolri Listyo Sigit Prabowo meminta maaf secara publik dan menjanjikan tindakan hukum yang transparan.
Analisis Kritis
Meskipun konsesi pemerintah, seperti pembatalan tunjangan DPR, sementara meredakan ketegangan, isu mendasar, seperti ketimpangan ekonomi, ketidakpercayaan terhadap institusi, dan ketidakpekaan elit, tetap belum terselesaikan.
Retorika Prabowo yang menyebut beberapa protes sebagai “makar” berisiko meningkatkan ketegangan dengan membingkai perbedaan pendapat sebagai ancaman keamanan, yang berpotensi membenarkan represi lebih lanjut.
Keterlibatan TNI dalam keamanan sipil, meskipun dituntut untuk ditarik, menimbulkan kekhawatiran tentang kemunduran demokrasi.
Seruan OHCHR untuk investigasi independen belum sepenuhnya ditanggapi, dengan skeptisisme publik terhadap transparansi penyelidikan yang sedang berlangsung.
Kesimpulan
Protes Agustus–September 2025 mencerminkan frustrasi publik yang mendalam terhadap ketimpangan ekonomi, hak istimewa elit, dan kekerasan negara.
Tuntutan 17+8 merangkum seruan luas untuk reformasi sistemik, tetapi tanggapan pemerintah, meskipun menangani beberapa keluhan segera, kurang jelas mengenai perubahan struktural jangka panjang.
Dialog berkelanjutan dan reformasi yang tulus sangat penting untuk mencegah kerusuhan lebih lanjut, terutama mengingat pengawasan internasional dari badan seperti OHCHR. (edt)
Discussion about this post