MEMBACA ‘Nayla’, sebuah novel karya Djenar Maesa Ayu seakan membuka mata bahwa sumber penderitaan seorang anak bisa justru datang dari orang terdekatnya sendiri, yakni sang Ibu. Kasih sayang seharusnya menjadi tempat bernaung malah berubah menjadi selubung luka. Sulit diterima akal sehat, tetapi begitulah kenyataan pahit yang dialami tokoh Nayla. Seorang Ibu yang semestinya menjadi benteng perlindungan justru menghadirkan pengalaman traumatis dan menyakitkan.
Dari awal cerita, tergambar jelas sosok Ibu yang lalai, dengan menormalisasikan kehadiran seorang lelaki asing hingga dibebaskan keluar-masuk di rumahnya tanpa ikatan apa pun.
“Untuk Om Indra, Ibu memperbolehkannya datang ke rumah. Bahkan sudah dua bulan Om Indra tinggal di rumah dan tidur di kamar Ibu. Om Indra tidak saja dengan leluasa tidur di kamar Ibu. Om Indra juga mandi di kamar mandi Ibu. Om Indra juga memegang kunci duplikat. Ia bisa datang dan pergi kapan saja dengan bebas”.
Situasi inilah yang membuka pintu bagi berbagai pelecehan yang dialami Nayla.
Tanpa perlindungan Ibunya, Om Indra dengan bebas melakukan tindakan bejat dan tak senonoh terhadap Nayla. Pelecehan seksual yang dialami Nayla yang msih di bawah umur menjadi trauma yang sangat mendalam dan awal kehancuran masa depannya, dapat mengganggu mental dan fisiknya.
Lebih menyedihkan lagi, Nayla memilih diam karena ia tahu Ibunya sangat mencintai lelaki itu. Diam menjadi bentuk bakti yang salah kaprah, demi tidak melukai sang Ibu.
Selain pelecehan seksual yang di alami, Nayla juga sudah terbiasa dengan hukuman seorang Ibu yang sangat keras dan tidak masuk akal. Bahkan, menjadikan alat kelamin Nayla sebagai sasaran hukuman dengan cara yang ‘irrasional’, hanya karena tidak sengaja mengompol.
Lanjut dengan hukuman keras lainnya, Nayla dipukuli ketika menumpahkan sebutir nasi. “Tidak rapi, kata Ibu”. Lalu dijemur di atas seng yang panas terbakar terik matahari tanpa alas kaki karena membiarkan pensil tanpa kembali menutupnya.
“Tidak bertanggung jawab, kata Ibu”.
Ada lagi bentuk hukuman lain yang tidak etis untuk dijabarkan pada tulisan ini. Ironisnya, Ibu Nayla merasa semua tindakan yang dilakukannya adalah sebuah bentuk kasih sayang, agar kelak tidak menjadi anak yang manja, tidak bergantungpada laki-laki, dan anak yang tidak kosong.
“Percayalah kepadaku, anakku. Tak ada seorang Ibu yang tidak mencintai anaknya. Jika aku harus menghukummu, itu karena terpaksa. Aku yakin, Tuhan akan memaklumi semua tindakanku sejauh ia tahu bahwa tak ada sedikit pun niatanku untuk menyiksa. Semua yang kulakukan adalah untuk kebaikanmu”.
Pada bagan lain, sang Ibu juga mengklaim kepemilikan terhadap Nayla. “Aku yang merawatmu dengan penuh ketegaran sejak kamu berada di dalam kandungan. Aku yang membesarkanmu dengan penuh ketabahan. Aku menafkahimu. Aku memberimu tempat berteduh yang nyaman. Aku menyediakanmu segala kebutuhan sandang dan pangan”.
Sang Ibu juga menegaskan pengorbanannya sebagai Ibu bahwa ia pastinya sayang dengan anaknya dengan memberikan segala yang Nayla butuhkan.
“Aku bekerja membanting tulang. Apa yang kurang dariku, anakku? Kusekolahkan kamu di sekolah yang cukup mahal. Kamu tinggal menghempaskan pantatmu di atas jok mobil yang berpendingin dan sampailah kamu di sekolah dalam sekejap. Kamu tinggal membuka mulut dan menyuap makanan bergizi penuh variasi tanpa perlu susah-susah memutar otak”.
Tapi, sang Ibu lupa bahwa tidak itu saja kewajiban Ibu terhadap anak, tetapi masih banyak hal lainnya, seperti merawat batinnya.
Inilah paradoks utama, bahwa kasih sayang yang diklaim penuh pengorbanan, tetapi hadir bersamaan dengan kekerasan yang melukai tubuh dan batin anak. Sayang itu tidak pernah dirasakan Nayla sebagai cinta, melainkan sebagai penjara penuh luka. Anak perempuannya yang masih kecil, seharusnya di masa inianak mendapat kasih sayang dan membentuk karakter serta sebagai pelindung utama. Diperbolehkan memberi teguran dan mendisiplinkan anak, tetapi bukan begitu caranya.
Trauma demi trauma akhirnya membentuk Nayla tumbuh dalam bayangan derita. Ia melihat sosok Ibunya bukan lagi sebagai pelindung, melainkan monster yang membuat hidupnya penuh darah, air mata dan rasa takut.
“Padahal Nayla hanya ingin melihat Ibu seperti ibu-ibu lain yang biasa dilihatnya di sekolah atau pun di ruang tunggu dokter. Nayla ingin Ibu seperti ibuibu lain yang terkejut ketika anak kandungnya jatuh hingga terluka dan mengeluarkan darah, bukan sebaliknya membuat berdarah. Nayla ingin punya Ibu, tapi bukan ibunya sendiri”.
Nayla pun tak sanggup hingga mencari perlindungan dari Ayahnya, tetapi itu tak berlangsung lama. Setelah sang Ayah meninggal ia kehilangan sandarannya. Saat mencoba kembali ke Ibunya, ia justru ditolak mentah-mentah.
“Kamu sudah berani memilih jalan hidupmu sendiri. Namun kenapa kamu kembali? Kamu kembali untukku, atau hanya karena ayahmu mati? Harusnya kamu tahu, sikapku tak bisa ditawar. Aku tak akan menjilat ludahku sendiri. Sudah kukatakan berkali-kali, kamu harus memilih antara aku atau ayahmu. Dan kamu sudah memilihnya. Tak ada alasan apa pun yang pantas mempersatukan kita berdua. Tak ada yang tersisa. Hanya ada doa. Hanya Tuhan yang tahu, sebagai Ibu tak ada satu niatku mencelakakan anaknya. Aku hanya ingin kamu belajar menghadapi pilihan dengan segala konsekuensinya”.
Dari sini tampak jelas bagaimana kasih sayang ibu hanyalah retorika yang kosong, sementara luka yang ditorehkan nyata adanya.
Karena Nayla tak diterima Ibunya kembali, Nayla dijebloskan istri kedua dari ayah Nayla ke rehabilitas narkoba, juga atas persetujuan ibunya. Hal ini membuat hidup Nayla bertambah tersiksa. Tidak ada yang membantu, selain dirinya sendiri, hingga mampu terbebas keluar dari pengurungan itu.
Terhimpit keadaan, Nayla akhirnya jatuh ke dunia malam, narkoba, hingga menjalin hubungan sesama jenis, yang kebetulan Nayla bekerja di klub malam sebagai pengatur sorot lampu. Meskipun hidup yang dirasakan Nayla tidak enak, tetapi hanya di sana Nayla merasa dirinya diterima tanpa dihakimi. Hidup bebas tanpa ada yang mengatur, menghakimi dan sebagainya.
Pukulan batin yang begitu keras membuat Nayla kehilangan arah memandang kasih sayang. Ia tumbuh dengan rasa benci terhadap laki-laki. Rasa takut dan curiga itu akhirnya membuatnya lebih memilih menjalin hubungan dengan sesama perempuan. Bagi Nayla, perempuan terasa lebih aman, lebih bisa dipahami, hubungan itu memberinya rasa dekat yang dulu tak pernah Nayla temukan dari ibunya. Tidak seperti lelaki yang semata-mata mempergunakan perempuan untuk pemuas nafsu dan berakhir luka hingga pengkhianatan.
“Saya pernah belajar mencintai perempuan. Mencintai Ibu. Tapi sayangnya, Ibu tak pernah belajar mencintai saya. Ia lebih senang belajar mencintai kekasih-kekasihnya. Bersama Juli (teman sesuka jenis), saya merasakan kehangatan kasih yang pernah ingin saya berikan kepada Ibu”.
Banyak kejadian yang telah di alami Nayla bersama Juli. Hal ini juga menjelaskan orientasi seksual Nayla pun terbentuk dari trauma cinta yang tak pernah ia dapatkan dari sosok ibu. Luka itu menular ke segala lini kehidupan.
Setelah semua lika-liku kehidupan yang dijalaninya, rintangan di keluarga, seksual maupun masalah ketika hidup di luar. Nayla akhirnya mencoba berdamai dengan masa lalunya. Ia keluar dari dunia gelap, meninggalkan hubungan sesama jenis, dan menemukan jalan hidup baru sebagai penulis, hingga ia diwawancarai wartawan karena hasil karyanya bagus. Dari sana Nayla sudah tidak berputar hidup dalam dunia malam. Melupakan ibu dan keluarganya, sekaligus membuka lembaran hidup kembali yang lebih baik.
Kesimpulannya, kisah Nayla memperlihatkan bahwa kasih sayang yang tidak diiringi dengan kehangatan emosional dapat berubah menjadi luka yang dalam. Sang ibu meyakini cintanya cukup lewat kerja keras dan materi, sementara Nayla mendamba kelembutan dan rasa aman. Dari pertentangan itulah lahir paradoks: luka berkedok sayang.
Novel ‘Nayla’ memberi pelajaran bahwa cinta orang tua bukan hanya tentang pengorbanan fisik, melainkan juga tentang kehadiran, pelukan, dan penerimaan yang mampu menumbuhkan jiwa seorang anak. Dan dari orang tualah masa depan anak dilahirkan. *