Sumbarpro – Pemerintah Sumbar kembali mengumbar kabar gembira. Delapan konsultan siap mendampingi UMKM lewat Pusat Layanan Usaha Terpadu Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (PLUT KUMKM). Gratis pula.
Tapi mari jujur, apakah kehadiran konsultan benar-benar bisa menyembuhkan luka lama UMKM yang sudah bertahun-tahun dibiarkan berdarah?
Masalah UMKM bukan sebatas butuh saran teknis. Mereka butuh modal murah, pasar yang pasti, bahan baku stabil, dan perlindungan dari serbuan produk luar.
Konsultasi hanya ibarat menempelkan handyplast di luka dalam. Pedihnya tetap terasa.
Apalagi, sebagian besar UMKM di Sumbar hanyalah usaha keluarga yang lebih sibuk bertahan hidup ketimbang merancang strategi bisnis.
Suruh mereka konsultasi daring? Banyak yang tak punya waktu, tak paham teknologi, bahkan terkendala sinyal. Bukannya naik kelas, malah makin tertinggal.
Ironisnya, pemerintah sering puas dengan angka di atas kertas. Jumlah konsultan dan peserta binaan dipamerkan dalam laporan seolah itu keberhasilan.
Padahal yang penting adalah omzet naik, produk menembus pasar nasional bahkan internasional, dan tenaga kerja lokal terserap.
Jika indikator itu nihil, maka PLUT hanyalah etalase program seremonial.
UMKM kita punya potensi besar. Mulai dari rendang, kopi, tenun, hingga gambir.
Namun semua itu butuh hilirisasi, sertifikasi, dan branding global. Konsultan boleh hadir, tapi tanpa ekosistem usaha yang adil, semua hanya sebatas formalitas.
Disinilah PLUT harus ambil peran lebih menjadi pusat akselerasi, tak hanya sarana konsultasi.
Sudah dua dekade lebih UMKM dijadikan jargon kampanye dan bahan laporan. Kini rakyat menuntut bukti nyata.
Pemerintah mesti sadar, membantu UMKM bukan sekadar menghadirkan konsultan, melainkan menciptakan ruang tumbuh yang benar-benar melindungi mereka.
Tanpa keberanian itu, UMKM Sumbar akan terus jadi penonton di tanah sendiri.
Pemerintah harus berani melahirkan solusi ekstrem. Konsultan hanyalah pintu masuk.
Pemerintah daerah bersama pusat harus memastikan ekosistem usaha dibangun kokoh.
Akses modal murah berbasis koperasi, regulasi yang melindungi pasar lokal dari serbuan produk luar, serta dukungan pemasaran yang konkret lewat jaringan retail modern dan e-commerce.
Pelatihan pun harus disertai inkubasi usaha, bukan sekadar bimbingan sehari dua hari.
Jika tidak ada langkah nyata yang menyentuh akar persoalan, maka pendampingan UMKM hanya akan jadi dokumentasi media semata.
Pemerintah mesti ingat, UMKM bukan hanya sektor penyangga, tetapi tulang punggung ekonomi rakyat.
Membantu mereka bukan sekadar soal memberi konsultan, melainkan menciptakan ruang tumbuh yang benar-benar adil dan berkelanjutan. *