Sumbarpro – Sebanyak 46 pejabat tengah bersaing untuk memperebutkan delapan kursi strategis eselon II di Pemerintah Kota Payakumbuh. Dari Sekretaris DPRD hingga Kepala Dinas Kesehatan.
Jabatan-jabatan ini bukan hanya soal posisi administratif, melainkan titik kunci yang akan menentukan kualitas pelayanan publik di kota tersebut. Pemerintah daerah telah menegaskan komitmen pada sistem merit, transparansi, dan akuntabilitas.
Namun, apakah prinsip itu benar-benar bisa dijalankan hingga akhir proses seleksi?
Seleksi terbuka pejabat kerap dipuji sebagai langkah reformasi birokrasi, karena memberi kesempatan yang lebih adil dan mengurangi praktik politik balas budi.
Akan tetapi, sejarah panjang birokrasi di Indonesia menunjukkan bahwa praktik ideal seringkali terhalang oleh intervensi, baik dari kepentingan politik lokal maupun kelompok tertentu yang ingin menempatkan ‘orang dekat’ pada posisi strategis.
Jika hal ini terjadi, sistem merit hanya jadi sebatas jargon, sementara birokrasi tetap dikuasai oleh kepentingan sempit.
Kota Payakumbuh tidak boleh jatuh pada jebakan tersebut. Jabatan eselon II yang diperebutkan bukan sekadar kursi kekuasaan, tetapi berkaitan langsung dengan kebutuhan dasar masyarakat.
Kepala Dinas Kesehatan akan berhadapan dengan tantangan layanan rumah sakit dan puskesmas. Kepala Dinas Pendidikan menentukan kualitas sekolah dan guru. Kepala Dinas Lingkungan Hidup harus sigap menangani persoalan sampah dan pencemaran.
Setiap posisi membawa konsekuensi besar terhadap kehidupan warga, sehingga yang dibutuhkan adalah figur yang kompeten, bukan sekadar populer di lingkaran elite.
Selain itu, penting dicatat bahwa seleksi terbuka tidak cukup hanya formalitas administrasi. Rekam jejak peserta harus diperiksa dengan cermat, termasuk integritas, rekam kepemimpinan, hingga potensi konflik kepentingan.
Di sinilah peran panitia seleksi menjadi krusial. Mereka tidak hanya bertugas memeriksa berkas dan menilai makalah, tetapi juga memastikan proses benar-benar steril dari titipan. Jika publik tidak yakin pada integritas panitia, maka kepercayaan pada hasil seleksi akan runtuh.
Di sisi lain, publik Payakumbuh juga tidak boleh pasif. Masyarakat sipil, media, dan kalangan akademik perlu mengawasi jalannya seleksi ini. Pengawasan publik adalah benteng terakhir untuk mencegah praktik curang.
Seleksi pejabat eselon II adalah ujian bagi komitmen reformasi birokrasi. Jika proses ini berjalan bersih dan profesional, hasilnya bukan hanya pejabat baru, melainkan juga lahirnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan daerah.
Tetapi jika proses ini ternodai oleh kepentingan politik, maka yang hilang bukan hanya integritas birokrasi, melainkan juga harapan masyarakat akan pelayanan publik yang lebih baik.
Karena itu, kita berharap seleksi terbuka ini benar-benar menjadi pintu masuk menuju pemerintahan yang lebih bersih, transparan, dan benar berpihak pada kepentingan rakyat. *