LARANGAN yang dikeluarkan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) terkait gim daring Roblox kembali memperlihatkan wajah lama kebijakan pendidikan kita.
Setiap kali muncul persoalan yang melibatkan anak dan teknologi, solusi yang ditempuh pemerintah cenderung reaktif.
Melarang, membatasi, memblokir.
Padahal masalah utama tidak pernah terselesaikan.
Fakta yang disampaikan Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Lalu Hadrian Irfani, memang mengkhawatirkan. Data menunjukkan 65 persen siswa menghabiskan lebih dari empat jam per hari bermain gim daring.
Akibatnya, kesehatan fisik terabaikan, prestasi akademik menurun, bahkan muncul kasus kecanduan yang membuat siswa enggan bersekolah.
Semakin keras larangan diberlakukan, semakin kreatif anak-anak mencari celah untuk mengaksesnya.
Fenomena ini sudah sering terjadi pada situs hiburan, media sosial, hingga gim daring lain.
Larangan hanya menutup pintu resmi, sementara pintu ‘belakang’ tetap terbuka.
Dengan pola kebijakan seperti ini, pemerintah tidak hanya gagal melindungi, tetapi juga gagal memahami cara generasi digital berinteraksi dengan dunia mereka.
Lebih jauh, kebijakan yang hanya mengandalkan larangan mencerminkan miskinnya visi digital pemerintah.
Roblox, misalnya, bukan sekadar gim. Platform ini memungkinkan pengguna menciptakan dunia mereka sendiri, mengasah kreativitas, dan membangun interaksi sosial.
Bahkan, ada pemerintah daerah yang sudah menjadikannya kegiatan ekstrakurikuler, dengan tujuan menjadikan gim ini sebagai media edukasi.
Sayangnya, inisiatif positif seperti ini justru tenggelam oleh keputusan tergesa-gesa di tingkat pusat.
Di sisi lain, Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemenkomdigi) juga tidak lepas dari sorotan. Fungsi pengawasan konten seharusnya dilakukan secara selektif, bukan dengan logika sapu jagat.
Tidak semua konten Roblox berbahaya, sebagaimana tidak semua kanal media sosial membawa dampak buruk.
Tanpa filter yang cerdas, pemerintah justru berpotensi menghambat kreativitas anak yang bisa diarahkan pada hal-hal produktif.
Kritik juga patut diarahkan pada koordinasi antar kementerian. Kementerian pendidikan berfokus pada aspek moral dan perilaku, sementara Kemenkomdigi bertanggung jawab pada infrastruktur digital.
Sayangnya, kedua institusi ini kerap bekerja sendiri-sendiri tanpa konsep bersama.
Akibatnya, kebijakan yang muncul terkesan tambal sulam, lebih banyak meredam kegaduhan sesaat daripada memberi arah jangka panjang.
Tidak kalah penting, peran keluarga dan sekolah kerap hanya dipandang sebatas objek imbauan. Padahal orang tua dan guru adalah garda terdepan dalam membentuk literasi digital anak.
Tanpa panduan yang jelas, mereka hanya bisa mengulang pesan klise agar mengawasi anak, tanpa tahu bagaimana cara mengawasi di dunia maya yang begitu luas.
Jika pemerintah benar-benar serius melindungi anak dari dampak negatif gim daring, solusinya bukan sekadar larangan. Ada beberapa langkah yang lebih ideal dan visioner.
Pertama, membangun literasi digital sejak dini, bukan hanya di sekolah tetapi juga di lingkungan keluarga. Anak harus diajarkan membedakan konten sehat dan konten berbahaya, sebagaimana mereka belajar membaca buku.
Kedua, menghadirkan kurikulum adaptif yang mampu menjadikan teknologi sebagai alat pembelajaran.
Ketiga, memperkuat peran Kemenkomdigi dengan sistem pengawasan cerdas berbasis algoritma untuk menyaring konten yang berbahaya, tanpa menutup seluruh platform.
Terakhir, menyiapkan ruang alternatif yang menarik bagi anak, baik melalui kegiatan seni, olahraga, maupun kegiatan digital yang terarah.
Generasi emas 2045 tidak mungkin lahir dari kebijakan reaktif yang hanya tahu melarang. Yang dibutuhkan adalah visi besar untuk mendidik generasi digital dengan cara yang sesuai dengan zamannya.
Dunia mereka adalah dunia teknologi, dan pemerintah tidak bisa terus-menerus memperlakukannya sebagai ancaman.
Jika arah kebijakan tidak segera berubah, kita hanya akan melahirkan generasi yang tumbuh dengan frustrasi. Mereka dilarang berinovasi, tidak dibimbing, dibatasi ruang geraknya, dan tidak diberi alternatif.
Pemerintah mesti sadar, tanggung jawabnya bukan hanya mencegah, melainkan juga menyiapkan masa depan. Dan masa depan itu hanya bisa diraih dengan keberanian menghadirkan solusi, bukan sekadar reaksi spontan setiap kali masalah muncul. *