Sumbarpro – Duapuluh tahun bukan waktu yang sebentar. Pembangunan Pelabuhan Teluk Tapang di Pasaman Barat dimulai sejak 2005, tetapi hingga kini proyek itu belum juga rampung.
Anggaran ratusan miliar rupiah telah terkucur, dermaga sudah berdiri, jalan dan jembatan dibangun, namun fungsi strategis pelabuhan itu masih sebatas wacana.
Inilah wajah klasik proyek infrastruktur di negeri ini, penuh janji manis tetapi lamban diwujudkan.
Pelabuhan Teluk Tapang sejatinya memiliki posisi strategis. Ia dapat memangkas waktu tempuh logistik dari Pasaman Barat hanya 2,5 jam, jauh lebih singkat dibanding 4,5 jam ke Teluk Bayur. Bahkan, akses dari Mandailing Natal, Sumatera Utara, begitu dekat.
Dari segi potensi, Pasaman Barat memiliki lahan sawit hampir 190 ribu hektare, dengan produksi CPO mencapai ratusan ribu ton per tahun.
Semua ini membutuhkan simpul distribusi yang efisien. Namun, mengapa sebuah proyek vital yang bisa menjadi mesin pertumbuhan ekonomi itu seperti dibiarkan berjalan tersendat?
Lambannya pembangunan Teluk Tapang mencerminkan betapa koordinasi antar-level pemerintahan lemah. Perdebatan soal perizinan kawasan hutan, keterbatasan anggaran, dan tarik-menarik kewenangan telah menjadi alasan klasik.
Sayangnya, yang paling dirugikan adalah masyarakat. Bayangkan nilai tambah ekonomi yang hilang selama dua dekade hanya karena pelabuhan itu tak kunjung dioperasikan.
Harga sawit bisa lebih kompetitif, biaya logistik ditekan, dan daerah mendapatkan manfaat berlipat. Tetapi semua itu tertahan dalam kubangan birokrasi.
Kementerian Perhubungan dan Pemerintah Provinsi Sumbar tidak bisa lagi bersembunyi di balik alasan teknis. Apalagi pelabuhan ini sudah menguras dana lebih dari Rp600 miliar.
Setiap rupiah yang keluar adalah uang rakyat yang semestinya kembali dalam bentuk kesejahteraan.
Jika pelabuhan terus mangkrak, maka proyek ini hanya akan menjadi monumen ketidakseriusan negara dalam menepati janji pembangunan.
Solusi sebenarnya jelas. Pertama, pemerintah pusat harus memasukkan Pelabuhan Teluk Tapang ke dalam daftar prioritas Proyek Strategis Nasional (PSN). Status itu akan mempercepat alokasi anggaran dan penyelesaian regulasi.
Kedua, Pemprov dan Pemkab harus menyiapkan ekosistem pendukung, mulai dari kawasan industri berbasis sawit hingga pabrik pengolahan yang mampu menambah nilai produk lokal.
Ketiga, pengawasan pembangunan harus ketat, dengan tenggat waktu yang realistis namun tegas.
Kita selalu bicara soal hilirisasi, daya saing global, dan pertumbuhan inklusif. Namun, bagaimana mungkin cita-cita besar itu tercapai jika proyek mendasar seperti pelabuhan di Pasaman Barat dibiarkan terkatung-katung selama dua dekade?
Teluk Tapang adalah ‘cermin’ yang memperlihatkan jurang antara wacana dan realisasi. Saatnya pemerintah berhenti berjanji. Yang dibutuhkan bukan lagi rencana, melainkan penyelesaian nyata.
Jika tidak, luka 20 tahun itu akan terus menjadi 30 tahun, 40 tahun, dan seterusnya. Rakyat pun hanya bisa menatap laut sambil menunggu kapal yang tak kunjung datang. *