TAWURAN remaja kembali menelan korban jiwa di Kota Padang. Seorang pelajar berusia 18 tahun meregang nyawa akibat dikeroyok saat bentrokan di jalanan.
Peristiwa tragis ini menambah daftar panjang kekerasan jalanan yang melibatkan kelompok remaja, dan sekali lagi mengingatkan kita bahwa masalah ini bukan sekadar soal kriminalitas. Fenomena ini adalah potret buram dari kegagalan banyak pihak dalam mengawal generasi muda.
Polisi memang bertindak cepat dengan menangkap sejumlah pelaku. Namun penindakan hukum hanyalah bagian hilir dari persoalan. Fakta bahwa sebagian pelaku masih berstatus pelajar SMP sementara lainnya sudah putus sekolah menggambarkan rapuhnya kontrol sosial kita.
Remaja yang seharusnya belajar, berkreasi, dan menatap masa depan, justru terjerumus dalam lingkaran kekerasan yang absurd.
Pertanyaannya, ke mana orang tua, sekolah, pemerintah, dan masyarakat saat anak-anak ini mulai membentuk kelompok jalanan dengan senjata tajam di tangan?
Fenomena tawuran tidak muncul tiba-tiba. Ada faktor pendidikan yang gagal membentuk disiplin dan karakter. Ada keluarga yang mungkin kehilangan fungsi pengawasan karena tekanan ekonomi atau disfungsi sosial. Ada pula ruang publik yang semakin sempit bagi remaja untuk menyalurkan energi secara sehat.
Di sisi lain, mudahnya akses media sosial turut memperkeruh keadaan, karena banyak kelompok remaja yang saling menantang dan mengatur jadwal bentrok secara daring.
Kita tidak bisa terus membiarkan masalah ini diatasi dengan pendekatan hukum semata. Polisi bisa menindak, tetapi tanpa pencegahan yang sistematis, siklus kekerasan akan berulang. Pemerintah daerah harus berani menyatakan darurat sosial terhadap fenomena tawuran ini.
Program kepemudaan tidak boleh sebatas seremoni lomba atau festival, tetapi harus mampu menyentuh kelompok remaja yang rawan putus sekolah dan rentan terjerumus dalam kelompok jalanan.
Sekolah pun tidak bisa berdalih pengawasan sebatas ruang kelas. Pendidikan karakter harus dijalankan dengan sungguh-sungguh, bukan sekadar jargon dalam kurikulum. Guru, BK, dan pihak sekolah harus aktif melakukan pendekatan personal kepada murid yang menunjukkan tanda-tanda keterlibatan dalam kelompok negatif.
Orang tua pun harus disadarkan bahwa pengawasan bukan sekadar menyiapkan kebutuhan materi, tetapi juga kehadiran emosional dan kontrol terhadap pergaulan anak.
Kita perlu solusi yang lebih progresif. Pemerintah kota bisa menggandeng organisasi masyarakat, komunitas olahraga, dan lembaga keagamaan untuk menyediakan ruang aktivitas positif yang mampu mengalihkan energi anak muda dari jalanan.
Program beasiswa atau pelatihan kerja bagi remaja putus sekolah juga harus diperluas agar mereka tidak merasa tersisih.
Pada akhirnya, tragedi di Padang adalah alarm keras bagi kita semua. Jika satu nyawa muda melayang di jalanan, itu adalah kegagalan kolektif kita sebagai masyarakat. Kota ini tidak boleh dibiarkan menjadi arena pertarungan anak-anak yang kehilangan arah.
Perlu gerakan bersama yang menyeluruh agar generasi muda Padang tumbuh bukan sebagai geng jalanan, melainkan sebagai generasi yang mampu membangun masa depan dengan akal sehat, keterampilan, dan budi pekerti. *