Sumbarpro – Instruksi Gubernur Sumatera Barat, Mahyeldi, untuk menertibkan penambangan tanpa izin (PETI) kembali menegaskan betapa seriusnya ancaman tambang ilegal terhadap masa depan daerah.
Setiap kali hujan besar mengguyur, kita diingatkan oleh banjir bandang, longsor, dan kerusakan sungai yang tak jarang dipicu aktivitas tambang liar.
Kini, peringatan itu kembali disampaikan, kali ini dengan instruksi tegas yang meminta kepala daerah turun langsung menanganinya.
Namun, persoalan PETI bukan barang baru. Sejak berpuluh-puluh tahun lalu, tambang ilegal sudah menjadi luka lama yang tak kunjung sembuh. Merusak hutan, mencemari sungai, dan menghancurkan ekosistem. Sementara keuntungan besarnya hanya dinikmati segelintir orang.
Ironisnya, aparat sering kali hanya menindak di permukaan tanpa menyentuh aktor besar di baliknya.
Instruksi gubernur ini patut diapresiasi, tetapi yang lebih penting adalah konsistensi dalam mengeksekusi.
Krisis tambang ilegal juga memperlihatkan lemahnya kehadiran negara di tengah masyarakat. Banyak penambang kecil yang sebenarnya terjebak karena faktor ekonomi.
Tanpa alternatif penghidupan yang jelas, mereka mudah kembali ke lubang-lubang tambang meski tahu risikonya.
Di titik inilah, penindakan saja tidak cukup. Negara harus hadir dengan solusi ekonomi yang nyata, mulai dari lapangan kerja, pemberdayaan pertanian, hingga skema pertambangan rakyat yang sah dan ramah lingkungan.
Keterlibatan tokoh adat, agama, dan masyarakat seperti yang diamanatkan dalam instruksi gubernur memang penting. Tetapi jangan hanya berhenti pada sosialisasi seremonial.
Yang dibutuhkan adalah gerakan kolektif yang mengikat, sehingga menjaga alam benar-benar dipahami sebagai bagian dari nilai budaya dan tanggung jawab moral, bukan sekadar kepatuhan pada hukum.
Jika dibiarkan, PETI akan terus meninggalkan jejak bencana. Kerusakan hutan dan sungai tidak bisa dipulihkan dalam waktu singkat, sementara dampak sosialnya, dari konflik lahan hingga rusaknya tatanan hidup, akan diwariskan pada generasi berikutnya.
Maka, pemerintah harus berani menindak tegas jaringan tambang ilegal dari atas hingga bawah, menyediakan jalur legal yang berkeadilan bagi rakyat kecil, serta memperkuat edukasi lingkungan berbasis adat dan agama.
Penegakan hukum dan penyelamatan alam tidak boleh berjalan sendiri-sendiri, tetapi harus dirangkai dalam satu visi yang kokoh.
Instruksi gubernur ini sudah seharusnya menjadi momentum politik dan moral untuk menutup luka lama yang tak kunjung sembuh bernama PETI.
Jika tidak, Sumatera Barat hanya akan terus membayar mahal ongkos kerusakan alam demi keuntungan sekelompok orang yang rakus. *