Di tengah derasnya arus media sosial, muncul tren konten kreator lokal Sumatera Barat yang mengabaikan norma kesopanan. Demi mengejar popularitas instan, tak sedikit yang memilih menampilkan kata-kata kasar, carut-marut, hingga gaya berpakaian yang tak sejalan dengan nilai adat dan agama.
Kreativitas yang semestinya menginspirasi berubah menjadi tontonan murahan. Fenomena ini menimbulkan keresahan nyata di tengah masyarakat Minangkabau.
Ranah Minang bukan sekadar wilayah geografis, melainkan ruang hidup yang berakar kuat pada falsafah Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah. Falsafah ini telah membimbing masyarakat dalam bertutur, bersikap, dan berperilaku.
Namun, apa jadinya ketika wajah Sumatera Barat di dunia maya justru diwakili oleh anak-anak muda yang berteriak kasar, melontarkan sumpah serapah, bahkan memamerkan gaya hidup yang bertolak belakang dengan nilai luhur?
Popularitas digital yang mereka raih seakan dibeli dengan harga mahal, yakni tergerusnya martabat budaya.
Keresahan masyarakat tentu bukan tanpa alasan. Orang tua khawatir generasi belia menjadikan konten-konten itu sebagai panutan baru. Bukannya belajar sopan santun, mereka malah meniru gaya bicara yang kasar dan perilaku pamer tanpa batas.
Celakanya, algoritma media sosial memang cenderung mengangkat konten kontroversial. Akibatnya, semakin banyak kreator yang nekat melewati batas untuk meraih like, komentar, dan subscriber.
Kebebasan berekspresi memang hak setiap orang. Namun kebebasan yang tak mengenal etika pada akhirnya akan merusak ekosistem itu sendiri. Kreativitas tanpa kendali hanyalah sensasi singkat yang mengikis nilai luhur.
Popularitas semacam itu rapuh dan tidak memberi manfaat jangka panjang, baik bagi kreator maupun masyarakat. Sebaliknya, ia menimbulkan stigma buruk yang melekat lama pada nama Minangkabau di ruang digital.
Pemerintah Provinsi Sumatera Barat mencoba menjawab keresahan ini dengan merumuskan surat edaran tentang kesantunan bertutur dan kesopanan berpakaian di ruang digital. Langkah ini perlu diapresiasi sebagai bentuk kepedulian, tetapi publik juga menanti lebih dari sekadar seruan moral.
Perlu ada strategi komprehensif. Pemprov bersama komunitas kreatif dapat menghadirkan pelatihan, kompetisi, atau festival konten digital yang mengangkat kekayaan Minang. Kuliner, randai, silek, kisah adat, hingga kearifan lokal bisa dikemas dengan cara segar dan modern.
Konten semacam itu bukan hanya menjaga marwah Ranah Minang, tetapi juga memiliki daya jual global yang jauh lebih besar ketimbang kata-kata kasar yang viral sesaat.
Institusi pendidikan juga harus dilibatkan dalam membangun literasi digital. Generasi muda perlu diajarkan untuk menjadi pengguna sekaligus produsen konten yang cerdas. Mereka mesti menyadari bahwa kreativitas sejati bukanlah soal berapa banyak viewers, tetapi seberapa kuat nilai yang mereka tinggalkan di ruang publik.
Kreator konten hari ini sesungguhnya sedang memegang tanggung jawab besar. Mereka bukan hanya sekadar individu yang bermain dengan kamera dan aplikasi, melainkan wajah daerah di hadapan dunia. Jika wajah itu ditampilkan dengan amarah, kata-kata kotor, dan gaya hidup hedon, maka nama baik Ranah Minang ikut tercoreng.
Namun jika wajah itu ditampilkan dengan kebijaksanaan, keindahan budaya, dan kreativitas yang santun, maka Minangkabau akan dikenal sebagai tanah yang bermartabat sekaligus modern.
Inilah saatnya semua pihak menyadari bahwa ruang digital bukan ruang tanpa batas. Ruang digital adalah cermin yang memantulkan siapa kita sebenarnya. Jika yang kita pantulkan adalah marwah dan kearifan lokal, maka generasi mendatang akan bangga melanjutkannya. Tetapi jika yang kita tinggalkan hanyalah jejak kebablasan demi viewers, maka sejarah akan mencatat kita sebagai generasi yang gagal menjaga warisan budaya.
Ranah Minang memiliki segudang inspirasi yang bisa diangkat dengan cara yang segar dan mendunia. Tugas kita adalah mengarahkan energi kreatif itu ke jalur yang benar, agar media sosial menjadi etalase martabat, bukan panggung murahan. Dan hanya dengan cara itulah, Minangkabau tetap berdiri tegak di tengah arus global tanpa kehilangan jati diri. *