Jejak Hijau Nabi Muhammad: Maulid sebagai Momentum Reorientasi Spiritual-Ekologis

Sabtu, 13 September 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh: Dafril Tuanku Bandaro

Kepala MAN Kota Sawahlunto, Mahasiswa Program Doktoral Study Islam S3 UM Sumbar

MAULID Nabi Muhammad SAW bukan hanya peringatan lahirnya seorang Rasul, tetapi sebuah panggilan untuk menapak tilas jejak peradaban yang beliau wariskan.

Jejak itu tidak sekadar membentang pada aspek spiritual dan sosial, melainkan juga menorehkan garis hijau dalam hubungan manusia dengan alam.

Rasulullah tidak hanya mengajarkan tauhid yang menyejukkan jiwa, tetapi juga menghadirkan etika ekologis yang mengakar pada kesadaran ilahiah.

Maulid: Dari Peringatan Historis ke Momentum Kontemporer

Sejarah mencatat, Maulid mulai diperingati secara luas pada abad ke-12 di Mesir oleh Dinasti Fathimiyah, lalu berkembang ke berbagai dunia Islam.

Seiring perjalanan waktu, peringatan ini meluas sebagai ekspresi cinta umat kepada Nabi.

Namun, seringkali ia terjebak dalam ritual simbolik yang kehilangan denyut filosofisnya.

Padahal, momentum Maulid sejatinya dapat dimaknai ulang sebagai reorientasi: kembali kepada pesan-pesan luhur Rasul, termasuk dimensi ekologis yang sering terlupakan.

Nabi lahir di tanah yang gersang, gurun yang kering, di mana sebatang pohon adalah nikmat, setetes air adalah kehidupan.

Dari tanah kering itulah lahir kesadaran ekologis Nabi.

Beliau bersabda: ”Jika kiamat terjadi sementara di tangan salah seorang dari kalian ada benih kurma, maka tanamlah ia.” (HR. Ahmad).

Hadis ini bukan sekadar anjuran bercocok tanam, tetapi simbol bahwa menjaga kehidupan adalah kewajiban spiritual, bahkan di ambang kehancuran dunia.

Jejak Hijau Nabi dalam Sejarah

Dalam sejarahnya, Rasulullah menunjukkan perhatian besar terhadap alam.

Ketika pasukan Muslim berperang, beliau melarang penebangan pohon tanpa sebab, melarang perusakan sumber air, dan menegaskan hak hidup hewan.

Dalam Piagam Madinah, selain mengatur kehidupan sosial antaragama, tersirat pula aturan menjaga harmoni dengan lingkungan sekitar.

Nabi juga mengajarkan hemat air. Beliau pernah menegur Sa’ad bin Abi Waqqash yang berwudhu dengan air berlebihan.

“Jangan berlebihan dalam menggunakan air, meskipun engkau berada di sungai yang mengalir.”(HR. Ahmad).

Ini bukan sekadar fiqh bersuci, tetapi etika ekologis pesan bahwa air adalah amanah, bukan hak untuk dihambur-hamburkan.

Ekologi sebagai Dimensi Tauhid

Islam menempatkan alam sebagai ayat kauniyah tanda-tanda kebesaran Allah di luar teks suci.

Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman: ”Dan Dialah yang menjadikan kamu khalifah di bumi…” (QS. Fathir: 39).

Khalifah bukan penguasa yang menindas, tetapi penjaga yang merawat. Ketika manusia merusak bumi, ia sedang mengkhianati mandat kekhalifahan itu.

Maka, krisis ekologis global hari ini bukan semata problem lingkungan, tetapi krisis spiritual: lupa bahwa merusak bumi sama dengan menentang Allah Sang Pencipta.

Momentum Reorientasi Spiritual-Ekologis

Peringatan Maulid seharusnya tidak berhenti pada barzanji dan syair pujian, melainkan menjelma menjadi energi kolektif untuk menghidupkan kembali visi ekologis Nabi. Maulid dapat dijadikan momentum untuk:

1. Menghidupkan budaya menanam – sebagaimana sabda Nabi tentang benih kurma. Menjadikan pohon sebagai simbol cinta Rasul di bumi.

Baca Juga:  Sambut Maulid Nabi, Yayasan Lebah Muda Galang Donasi Bantu Warga Duafa

2. Membangun kesadaran hemat sumber daya – menjadikan wudhu dan ibadah sehari-hari sebagai pelatihan etika ekologis.

3. Menguatkan pendidikan ekoteologis di madrasah – agar generasi Islam tak hanya hafal ayat, tetapi juga mampu menjaga ayat-ayat semesta.

4. Mengubah paradigma pembangunan umat – dari yang eksploitatif menuju yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Jejak hijau Nabi Muhammad adalah warisan yang masih terpendam dalam sejarah Islam.

Melalui Maulid, kita tidak hanya merayakan kelahiran manusia agung itu, tetapi juga meneguhkan kembali mandat sebagai khalifah yang menjaga bumi.

Dalam gema selawat, kita dengarkan bisikan Rasul: “Tanamlah walau satu pohon, peliharalah walau setetes air, sayangilah walau seekor hewan.”

Maka, Maulid tahun ini semestinya menjadi reorientasi bahwa cinta Nabi tidak berhenti pada bibir yang melantunkan selawat, tetapi menjelma dalam tangan yang menanam, hati yang merawat, dan jiwa yang kembali menyatu dengan alam.

Warisan Hijau Ulama Klasik

Tidak sedikit ulama klasik yang melanjutkan jejak hijau Nabi. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menegaskan bahwa setiap makhluk, termasuk tumbuhan dan hewan, adalah bagian dari “dzikir semesta” kepada Allah.

Oleh karena itu, merusak mereka berarti memutus rantai dzikir kosmik yang menghubungkan langit dan bumi.

Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah pun menyebutkan bahwa kemakmuran sebuah peradaban bergantung pada keseimbangan lingkungan: jika alam dirusak, maka hancurlah sendi-sendi peradaban.

Pandangan ini membuktikan bahwa ekologi dalam Islam bukan sekadar isu kontemporer, melainkan warisan intelektual yang panjang.

Maulid dan Tanggung Jawab Umat Global

Di era modern, peringatan Maulid dapat diposisikan sebagai respons Islam terhadap krisis iklim global.

Pemanasan bumi, deforestasi, polusi, dan bencana ekologis adalah bukti bahwa manusia mengabaikan mandat khalifah.

Ketika umat Islam memperingati kelahiran Nabi, seharusnya yang lahir pula adalah kesadaran baru: bahwa cinta Nabi mesti diwujudkan dalam aksi nyata merawat bumi.

Dengan demikian, Maulid menjadi jembatan antara spiritualitas Islam dengan wacana lingkungan global, menghadirkan Islam sebagai agama rahmat bagi seluruh alam, rahmatan lil ‘alamin.

Menghidupkan Ekoteologi di Madrasah

Madrasah sebagai pusat pendidikan Islam memiliki peran strategis dalam menghidupkan kembali nilai ekoteologi Nabi.

Momentum Maulid bisa menjadi pintu masuk untuk mengintegrasikan kesadaran ekologis dalam kurikulum, kegiatan ekstrakurikuler, hingga budaya madrasah.

Menanam pohon bersama, mengelola sampah, hemat energi, hingga membangun bank sampah madrasah adalah wujud konkret cinta Nabi yang dibumikan dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan begitu, Maulid tidak berhenti pada perayaan, tetapi menjadi gerakan transformatif yang menyiapkan generasi hijau, generasi yang mencintai Rasul sekaligus menjaga bumi.

Dari Ritual ke Gerakan Peradaban

Akhirnya, peringatan Maulid harus dipandang sebagai momentum peradaban, bukan sekadar ritual tahunan.

Jejak hijau Nabi Muhammad menuntun kita untuk menata ulang relasi manusia dengan alam.

Baca Juga:  Mengasah Keterampilan Sosial Pelajar di Era Digitalisasi: Tantangan dan Peluang

Selawat yang kita lantunkan mestinya bergetar dalam aksi menanam, doa yang kita panjatkan mestinya berdenyut dalam usaha menjaga air dan udara, dan cinta Rasul yang kita agungkan mestinya mewujud dalam sikap welas asih terhadap seluruh makhluk.

Dari sinilah Maulid berubah wajah: dari ritual seremonial menjadi gerakan spiritual-ekologis yang menegakkan kembali amanah kekhalifahan manusia di bumi.

Jejak Hijau pada Era Khulafaur Rasyidin

Jejak hijau Nabi tidak berhenti pada masa beliau hidup, tetapi dilanjutkan oleh para khalifah.

Umar bin Khattab dikenal sebagai pemimpin yang sangat peduli terhadap keberlangsungan lingkungan.

Beliau mendirikan kawasan konservasi yang dikenal sebagai hima, yaitu lahan yang dilindungi khusus untuk menjaga padang rumput dan sumber air agar tidak rusak oleh eksploitasi berlebihan.

Umar juga membuat kebijakan agar unta-unta milik negara tidak dibiarkan merumput sembarangan, sehingga tanah tidak gundul dan ekosistem tetap terjaga.

Praktik hima ini bisa dipandang sebagai cikal bakal konsep konservasi modern dalam peradaban Islam.

Kebijakan Ekologis di Era Dinasti

Pada masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyah, kebijakan ekologis juga mendapat perhatian.

Para khalifah menugaskan pejabat khusus untuk mengawasi kebersihan pasar, saluran air, dan ruang publik.

Di Baghdad, Ibnu Ukhuwwah dalam Ma’alim al-Qurbah menjelaskan bahwa pejabat pasar (muhtasib) bertugas melarang pembuangan limbah ke sungai, karena sungai dianggap sebagai urat nadi kehidupan.

Kebijakan ini menegaskan bahwa peradaban Islam memandang kebersihan dan kelestarian alam bukan sekadar urusan teknis, tetapi kewajiban moral yang bersumber dari agama.

Islam sebagai Inspirasi Gerakan Hijau Modern

Sejarah tersebut menjadi inspirasi bagi gerakan hijau modern. Di tengah gempuran industrialisasi yang menguras sumber daya alam, umat Islam seharusnya tampil dengan identitasnya yang khas: menjaga bumi sebagai ibadah.

Jika Umar bin Khattab melindungi padang rumput, maka hari ini kita bisa melindungi hutan tropis yang menjadi paru-paru dunia.

Jika khalifah Abbasiyah melarang limbah ke sungai, maka umat Islam sekarang harus memerangi pencemaran laut dan plastik sekali pakai.

Dengan begitu, jejak hijau Nabi dan para khalifah bukan hanya romantisme masa lalu, melainkan pedoman praktis untuk menyelamatkan masa depan.

Maulid sebagai Titik Balik

Maulid Nabi, dalam perspektif sejarah dan kontemporer, adalah titik balik bagi umat.

Di satu sisi ia mengingatkan kita pada cahaya kelahiran manusia agung yang membebaskan manusia dari kegelapan.

Di sisi lain, ia meneguhkan misi ekologis Islam yang harus dijalankan di era krisis iklim.

Maka, peringatan Maulid dapat menjadi manifestasi baru: menyalakan lilin kesadaran, menanam pohon kehidupan, dan mengibarkan bendera cinta Nabi dalam wujud aksi nyata menjaga bumi.

Inilah hakikat Maulid sebagai reorientasi spiritual-ekologis, di mana selawat bersemayam dalam udara yang bersih, doa mengalir bersama air yang jernih, dan cinta Rasul menumbuhkan hutan yang rindang. *

Follow WhatsApp Channel sumbarpro.net untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Nayla: Luka Berkedok Sayang Sang Ibu
Kekayaan Alam Bukan untuk Segelintir Orang
Seleksi Pejabat dan Pertaruhan Integritas Birokrasi
Menjaga Kebersihan Sebagai Bentuk Syukur
Siapa yang Berhak? Mengenal Legal Standing dalam Hukum Adat Minangkabau
Lebah Muda dan Kepahlawanan Sosial di Era Krisis
UMKM Sumbar Butuh Pasar, Modal, dan Proteksi, Bukan Hanya Konsultasi Gratis
Luka Lama yang Tak Kunjung Sembuh, Tambang Ilegal Terus Picu Bencana di Sumbar

Berita Terkait

Rabu, 8 Oktober 2025 - 22:20 WIB

Nayla: Luka Berkedok Sayang Sang Ibu

Minggu, 28 September 2025 - 22:12 WIB

Kekayaan Alam Bukan untuk Segelintir Orang

Kamis, 25 September 2025 - 22:37 WIB

Seleksi Pejabat dan Pertaruhan Integritas Birokrasi

Kamis, 25 September 2025 - 22:32 WIB

Menjaga Kebersihan Sebagai Bentuk Syukur

Kamis, 25 September 2025 - 08:49 WIB

Siapa yang Berhak? Mengenal Legal Standing dalam Hukum Adat Minangkabau

Berita Terbaru

Petugas AVSEC Bandara Internasional Minangkabau menggagalkan penyelundupan 7 kg ganja kering tujuan Jakarta. Paket dikirim dari Batusangkar lewat jasa ekspedisi J&T Express. (Ist.)

Hukum & Kriminal

Penyelundupan Ganja 7 Kg di BIM, Polisi Buru Jaringan Lintas Provinsi

Minggu, 12 Okt 2025 - 14:28 WIB