Jakarta, Sumbarpro –
Serpong (Kemenag) — Menteri Agama Nasaruddin Umar mengajak seluruh elemen bangsa untuk menempatkan agama sebagai kekuatan pemersatu, bukan pemecah belah. Menag mengibaratkan agama seperti energi nuklir—dapat menjadi kekuatan besar bagi kemanusiaan jika dimanfaatkan dengan bijak, namun bisa menjadi alat penghancur bila disalahgunakan.
“Karenanya, saya mengajak agar agama harus menjadi faktor sentripetal (pemersatu), bukan sentrifugal (pemecah),” ujar Menag dalam Silaturahmi Nasional Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang digelar di Serpong, Rabu (6/8/2025).
Silatnas FKUB ini dihadiri 350 peserta yang berasal dari FKUB se-Indonesia dan Kakanwil Kemenag Provinsi. Hadir pula perwakilan dari sejumlah kementerian dan lembaga, antara lain Irjen Pol. Ahmad Nur Wahid mewakili Menko PMK, Bahtiar Baharuddin mewakili Menteri Dalam Negeri, dan Cecep Agus Supriyanta dari Kemenko Polhukam.
Tampak pula tokoh-tokoh dari berbagai majelis agama seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Permabudhi), dan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin), serta para pengurus FKUB dari tingkat pusat hingga daerah
Selanjutnya, Menag mengingatkan, kerukunan antarumat beragama tidak cukup diatur secara formal atau legalistik, melainkan harus tumbuh dari kesadaran batiniah yang mendalam—sebuah state of mind.
“Sebanyak apa pun undang-undang kita buat, kalau hati tidak berkomunikasi, tidak bicara, maka tidak banyak artinya. Kerukunan bukanlah sesuatu yang bersifat formal logika, tapi soal batiniah,” ujar Menag.
Menag menyampaikan bahwa Kementerian Agama kini tengah mengembangkan pendekatan baru dalam membangun kerukunan, termasuk melalui perbaikan kurikulum pendidikan agama. Ia mengingatkan bahwa pendidikan agama tidak boleh menjadi alat untuk menanamkan fanatisme dan eksklusivisme.
“Kalau ada yang mengajarkan agama dengan cara mendoktrinkan bahwa keyakinan dirinya adalah satu-satunya kebenaran, apalagi sampai menimbulkan konflik, maka itu bukanlah mengajarkan agama, melainkan fanatisme,” tegasnya.
Lebih lanjut, ia mengajak agar rumah ibadah dijadikan sebagai “rumah kemanusiaan”, tempat tumbuhnya kesadaran nilai-nilai universal.
“Rumah ibadah harus menjadi tempat semua orang belajar menjadi manusia. Karena kemanusiaan itu satu, tidak ada duanya. Kita perlu menanamkan konsep dasar ini kepada anak-anak kita sejak dini,” tuturnya.
Menag juga mendorong perubahan paradigma dalam relasi keagamaan. Jika dulu perbedaan dianggap ancaman, kini harus dilihat sebagai kekayaan.
“Selama ini kita mengajarkan agama dengan cara negasi—berangkat dari siapa yang salah, siapa yang berbeda. Padahal kita harus mulai mengajarkan bahwa manusia adalah bagian dari alam, bukan penguasa alam,” ucapnya.
Sebagai bentuk konkret, Kementerian Agama tengah mendorong penerapan kurikulum berbasis cinta dan ekoteologi—konsep spiritualitas yang menyatu dengan pelestarian alam.
“Agama hadir bukan hanya untuk memanusiakan manusia, tetapi juga untuk merawat semesta. Tempat ibadah perlu disakralkan, tapi ruang publik juga harus diberi nuansa spiritual,” jelasnya.
Menag mengingatkan bahwa spiritualitas tidak bisa tumbuh di tengah lingkungan yang rusak. “Kalau manusia kehilangan rasa sakral terhadap alam, maka sulit baginya menemukan keteduhan. Kita harus mulai melihat alam bukan sekadar objek, tapi sebagai subjek spiritual,” tegasnya.
Di akhir sambutannya, Menag menyerukan agar bangsa Indonesia memulai babak baru dalam membangun kerukunan—Trilogi Kerukunan Jilid Dua, yakni kerukunan antara manusia, alam, dan Tuhan.
“Selama ini trilogi kerukunan kita mencakup relasi antarumat beragama, internal umat beragama, dan hubungan umat dengan pemerintah. Ke depan, kita perlu memperluasnya menjadi kerukunan yang utuh: manusia, alam, dan Tuhan,” pungkasnya.
(ak/*)