Gelombang kemarahan publik yang meledak hari-hari ini memperlihatkan satu hal yang sulit dibantah. Rakyat tidak lagi sekadar menuntut penjelasan. Rakyat meminta perubahan nyata.
Respons cepat pemerintah dengan menyambangi keluarga korban, menggelar dialog dengan organisasi masyarakat, serta bertemu pimpinan lembaga politik patut dicatat sebagai isyarat bahwa negara tidak menutup telinga.
Namun, simpati dan forum pertemuan tidak akan menyelesaikan krisis kepercayaan bila tidak segera diikuti tindakan yang terukur, terbuka, dan hasilnya bisa dirasakan warga.
Ada tiga arena yang saling terkait. Keadilan atas nyawa yang hilang, ketertiban umum yang harus dilindungi, dan kebebasan berpendapat yang wajib dijamin. Pemerintah menyatakan ketiganya akan dijalankan bersamaan.
Tantangannya terletak pada eksekusi. Publik sudah terlalu sering mendengar janji. Tapi tanpa tindakan nyata yang memberi rasa keadilan, janji akan dianggap sebagai jeda singkat sebelum kekecewaan berikutnya memuncak lagi.
Selain itu, ada problem yang lebih mendasar. Kekecewaan warga bukan hanya soal tragedi di jalanan. Kekecewaan sudah lama menumpuk. Kebijakan yang diklaim pro-rakyat namun tidak menyentuh dapur rumah tangga. Proyek besar yang ramai disorot tetapi sepi dampak. Layanan publik yang macet di birokrasi. Komunikasi politik yang kehilangan rasa.
Saat peristiwa tragis terjadi, semua kekecewaan itu terakumulasi menjadi badai. Karena itu, dialog di istana tidak boleh berhenti pada ajakan menjaga persatuan. Persatuan tumbuh dari rasa dipercaya. Rasa dipercaya lahir dari perubahan yang konkret.
Inilah saatnya presiden mengambil langkah pembeda. Perombakan kabinet bukan sekadar ritual pergantian orang. Perombakan harus menjawab dua pertanyaan, siapa yang punya kemampuan eksekusi kebijakan dengan cepat dan rapi serta siapa yang bebas dari beban masa lalu yang berisiko menggerus legitimasi.
Masyarakat tidak tertarik pada alasan teknis. Masyarakat menunggu bukti bahwa program yang menyangkut harga pangan, lapangan kerja, layanan kesehatan, dan pendidikan dapat diwujudkan. Bila ada menteri yang tidak mampu memenuhi ukuran itu, mengganti adalah kewajiban, bukan pilihan.
Di saat yang sama, agenda antikorupsi perlu diberi tenaga baru. Perampasan aset hasil korupsi adalah logika sehat. Uang rakyat yang dirampok harus kembali ke kas publik. Mengakselerasi regulasi yang memungkinkan perampasan aset serta menyiapkan infrastruktur pengelolaannya akan menjadi sinyal kuat bahwa negara berpihak pada kepentingan rakyat.
Langkah langkah tersebut harus dipadukan dengan strategi komunikasi yang jujur. Pemerintah perlu mengakui kekurangan yang ada, menjelaskan pilihan kebijakan beserta risikonya, dan menyampaikan capaian tanpa hiasan berlebihan.
Publik menghargai kejujuran lebih daripada klaim yang rapuh. Komunikasi yang sederhana dan konsisten akan mengurangi ruang bagi hoaks dan rekayasa informasi.
Krisis ini bisa menjadi momen perbaikan menyeluruh. Ketika keadilan ditegakkan, ketertiban dipelihara dengan cara yang manusiawi, dan kebebasan dijamin tanpa rasa takut, maka modal sosial pemerintah akan tumbuh kembali.
Dukungan politik bukan datang dari slogan. Dukungan lahir dari keyakinan bahwa negara berdiri di pihak warga.
Negara tidak kekurangan perangkat hukum. Negara hanya membutuhkan keberanian untuk menegakkan dan memperbaiki yang belum berjalan. Simpati penting untuk meredakan luka. Keadilan nyata lebih penting untuk menyembuhkan bangsa.
Jika langkah besar itu diambil sekarang, badai akan surut. Bila tidak, simpati hanya akan menjadi catatan kecil di tengah ancaman krisis yang sangat tidak kita inginkan bersama. *
Discussion about this post