Filantropi Islam dan Tantangan Ekonomi Syariah

Ilustrasi.

Filantropi Islam, khususnya zakat dan wakaf, memiliki peran strategis dalam menopang perekonomian nasional. Selain menjadi jaring pengaman sosial bagi masyarakat miskin, instrumen ini juga berpotensi menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif. Namun, efektivitasnya masih menghadapi berbagai tantangan, mulai dari literasi keuangan syariah yang rendah hingga sistem pengelolaan yang belum optimal.

Zakat, sebagai pilar utama filantropi Islam, memiliki dua fungsi utama: bantuan sosial jangka pendek dan pemberdayaan ekonomi jangka panjang. Zakat fitrah, misalnya, berperan dalam menjaga daya beli masyarakat kurang mampu, sementara zakat maal dapat dimanfaatkan untuk modal usaha, pendidikan, atau program pemberdayaan lainnya.

Dari perspektif ekonomi makro, distribusi zakat juga dapat membantu menekan inflasi dengan menyalurkan kekayaan dari kelompok kaya ke kelompok miskin, sehingga menjaga stabilitas permintaan barang dan jasa.

Di sisi lain, wakaf menawarkan potensi besar sebagai sumber pembiayaan sosial yang berkelanjutan. Dengan menjadikan aset sebagai investasi produktif, wakaf dapat menghasilkan manfaat jangka panjang bagi masyarakat, mulai dari layanan pendidikan, kesehatan, hingga pemberdayaan ekonomi.

Beberapa penelitian bahkan menunjukkan dampak positif wakaf dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin, mengurangi kemiskinan, serta meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

Potensi zakat di Indonesia juga sangat besar. Perkiraan menunjukkan bahwa zakat fitrah saja dapat mencapai 476,3 ribu hingga 536,8 ribu ton beras, atau setara dengan Rp 6,8 triliun hingga Rp 7,5 triliun. Jika dikelola secara optimal, dana tersebut dapat meningkatkan konsumsi beras per kapita bagi jutaan mustahik serta memberikan tambahan pendapatan bagi mereka yang menerima zakat dalam bentuk uang.

Namun, meskipun memiliki potensi besar, filantropi Islam di Indonesia masih menghadapi kendala. Tingkat literasi keuangan syariah yang rendah—hanya 39,11 persen berdasarkan survei OJK tahun 2024—menjadi tantangan utama. Selain itu, tingkat inklusi keuangan syariah yang hanya 12,88 persen menunjukkan bahwa banyak masyarakat belum memiliki akses atau pemahaman yang memadai terhadap instrumen ekonomi Islam.

Pengelolaan zakat dan wakaf yang masih bersifat tradisional juga menjadi hambatan. Banyak lembaga filantropi masih mengandalkan sistem manual dalam pencatatan dan distribusi dana, sehingga kurang efisien dan rawan kesalahan administrasi.

Selain itu, kebijakan fiskal yang kurang menarik bagi muzakki dan investor wakaf membuat optimalisasi filantropi Islam masih jauh dari potensi maksimalnya.

Untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan strategi komprehensif yang mencakup peningkatan literasi keuangan syariah, digitalisasi pengelolaan zakat dan wakaf, serta kebijakan fiskal yang lebih mendukung.

Dengan langkah-langkah tersebut, filantropi Islam dapat menjadi instrumen yang lebih efektif dalam mengurangi kemiskinan dan mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. *

Related posts

Tradisi Open House Saat Lebaran, Perlukah Dipertahankan?

Waspada Cuaca Ekstrem Saat Mudik Lebaran

Garuda Terbang atau Terjatuh?